Ada sebagian rekan yang dalam beberapa kesempatan menyebut saya sebagai “Ustadz Salafi“. Penyebutan ini sejatinya menimbulkan persoalan yang cukup dilematis, sehingga saya merasa kurang nyaman dengan penyebutan tersebut. Hal ini tentu bukan karena saya menolak prinsip: “memahami al-Qur’ān dan Sunnah dengan tidak menyimpang dari metodologi (manhaj) Salaf yang shalih”. Bahkan, saya sangat meyakini kebenaran prinsip yang dibangun di atas dalil-dalil yang sangat banyak jumlahnya tersebut (yang rasanya tidak perlu saya sebutkan di sini, karena sudah diketahui bersama).
Secara terminologis, siapapun yang menjalankan prinsip di atas, yakni: siapapun yang ber-Islam dengan tidak menyimpang dari konsensus (ijmā`) dan metodologi (manhaj) Salaf maka ia adalah Salafi. Pada perspektif terminologis ini, maka saya berharap dan berusaha termasuk ke dalam jajaran Salafi. Bahkan, tidak ada pilihan lain bagi siapapun—tanpa terkecuali—untuk menjadi seorang Muslim yang benar kecuali dengan menjadi Salafi. Demikianlah sekiranya mengacu pada definisi terminologis Salafi belaka. Pada tataran ini, mungkin dapat dikatakan bahwa mayoritas kaum Muslim secara umum menerima salafisme—terlepas sejauh mana realisasi mereka terhadap hal itu. Buktinya adalah kecintaan dan penghormatan mereka kepada kaum Salaf yang shalih sebagai generasi terbaik umat Islam yang patut diteladani.
Lantas, mengapa saya kurang nyaman dan berkeberatan untuk disebut sebagai “Ustadz Salafi”? Hal ini disebabkan alasan-alasan berikut:
Alasan pertama, saya merasa belum pantas menyandang gelar “ustadz”. Penyebutan itu rasanya menjadi beban berat untuk dipikul. Secara terminologis akademisi, ustadz berarti profesor. Dalam pengertian yang lebih general, ustadz artinya adalah guru. Kedua pengertian tersebut—baik yang sempit maupun luas—tidak tepat untuk ditujukan kepada saya. Saya bukan profesor, dan juga bukan guru. Saya bahkan hanyalah seorang pembelajar pemula pada berbagai guru kehidupan.
Alasan kedua, penyebutan “ustadz” tersebut ditambahi dengan kata “salafi” di ujungnya. Hal ini menambah lagi beban sebelumnya. Penyebutan “Ustadz Salafi” dalam benak banyak kalangan menimbulkan kesan ustadz yang shalih secara eksoterik dengan penampilan religius: celana di atas mata kaki, jenggot minimal segenggaman tangan dan berbagai ciri religius secara lahir lainnya, di samping pada umumnya memiliki kompetensi ilmiah yang memadai khususnya dalam bidang hadits dan atsar. Nah, adapun saya, di samping tingkat keilmuan saya yang masih rendah, ciri-ciri religius secara lahir sebagaimana di atas pun tidak melekat dalam diri saya.
Konotasi istilah salafi dalam gambaran sebagian besar masyarakat mengalami deviasi dan penyempitan dibandingkan definisi terminologisnya—bahkan hal ini juga terjadi pada persepsi kalangan internal orang-orang yang mengklaim sebagai Salafi itu sendiri. Terjadi gap yang cukup besar antara das sein (realitas faktual) dan das sollen. Kata salafi mengindikasikan suatu jamaah/kelompok/individu dengan ciri-ciri dan parameter yang lebih spesifik, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, ditambah lagi dengan sikap intoleran, puritan, revivalis, meremehkan pihak lain, mudah membid`ahkan, mudah memvonis sesat pihak lain, anti islamisasi ilmu pengetahuan, konservatif, dan lain-lain. Ini adalah realitas persepsi sebagian besar masyarakat terhadap istilah salafi yang sulit dipungkiri. Secara jujur pun seharusnya diakui bahwa salah satu penyebab utama hal tersebut adalah praktik-praktik yang kebablasan dari sebagian kalangan yang mengaku Salafi itu sendiri. Memang ada dari kalangan internal yang bersikap objektif dan melakukan purifikasi Salafi sebagaimana definisi terminologisnya, namun dapat dikatakan jumlahnya tidak dominan.
Permasalahan menjadi more complicated, karena terdapat berbagai komunitas yang mengklaim sebagai Salafi namun ternyata satu sama lain saling baku hantam dan saling memberikan gelar yang melecehkan, semisal “Surūri“, “Turātsi“, “Hizbi“, “Haddādi“, “Quthbi” dan lain-lain. Dengan gelar-gelar tersebut, komunitas yang satu memvonis komunitas yang lain sebagai salaf i (salafi imitasi), Salafi yang menyimpang, bukan Salafi yang benar. Masing-masing merasa memiliki otoritas untuk mengeluarkan pihak lain dari jajaran Salafi, kemudian mengeluarkan berbagai macam argumen untuk menguatkan pendapatnya (baca: vonisnya) tersebut. Kalangan internal yang bersikap objektif dan berusaha melakukan perbaikan (ishlāh) serta purifikasi Salafi sebagaimana definisi terminologisnya pun pada umumnya dimusuhi dan divonis menyimpang.
Saya tidak sedang mengingkari implementasi prinsip nahy munkar, jarh wa ta`dīl, atau vonis yang sesuai porsi dan tempatnya, di mana dengan hal tersebut otentisitas ajaran Islam menjadi terjaga. Namun, pada kenyataannya, di kalangan sebagian Salafi, hal-hal tersebut tidak jarang digunakan secara kebablasan, serampangan dan over dosis, sehingga bukannya mengobati tapi malah meracuni.
Dari paparan di atas tampak bahwa tindakan mengeluarkan orang lain dari kancah ‘persalafian’ merupakan hal yang lumrah terjadi, bahkan di kalangan internal para pengklaim Salafi itu sendiri. Karena itu, jika ada yang menyatakan saya sebagai Salafi maka kemungkinan akan muncul orang-orang yang tidak menyetujuinya. Memang seharusnya saya tidak perlu merisaukan hal ini, karena tidak layak kiranya keridhaan manusia dijadikan acuan dan tujuan. Saya pernah berkata kepada seorang kawan, “Saya menjadi Salafi (mengikuti kajian salafi) itu bukan karena siapa-siapa, namun karena mencari kebenaran. Karena itu, jika sekarang ada yang mengeluarkan saya dari salafi karena memegang apa yang saya yakini sebagai kebenaran, maka tidak jadi masalah. Jika ada pihak tertentu yang merasa memiliki ‘perusahaan salafi’ dan kemudian merasa punya otoritas untuk mengeluarkan saya maka itu adalah urusannya.” Dan, memang pada kenyataannya saya tidak menisbatkan diri atau berafiliasi (intimā’) kepada suatu kelompok pun, tidak kepada IM (al-Ikhwān al-Muslimūn), tidak kepada HT (Hizb at-Tahrīr), tidak kepada JT (Jamā`ah at-Tablīgh), dan tidak pula kepada kelompok Salafi (dalam pengertian sempit sebagaimana paparan di atas). Saya meyakini kewajiban ber-Islam dengan tidak menyelisihi konsensus Salaf. Namun untuk berafiliasi dan loyal kepada yang disebut sebagai Salafi pada zaman ini, maka kedua perkara tersebut merupakan dua hal yang berbeda, menurut pandangan saya.
Sampai saat ini saya memegang dan meyakini sepenuhnya kebenaran ucapan Syaikh Ibn `Utsaimīn, sebagaimana yang pernah saya kutip pada tulisan sebelumnya:
إذا كثرت الأحزاب في الأمة فلا تنتم إلى حزب، فقد ظهرت طوائف من قديم الزمان مثل الخوارج والمعتزلة والجهمية والرافضة، ثم ظهرت أخيراً إخوانيون وسلفيون وتبليغيون وما أشبه ذلك، فكل هذه الفرق اجعلها على اليسار وعليك بالإمام وهو ما أرشد إليه النبي – صلى الله عليه وسلم – في قوله: [عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين].
ولا شك أن الواجب على جميع المسلمين أن يكون مذهبهم مذهب السلف لا الانتماء إلى حزب معين يسمى السلفيين.
والواجب أن تكون الأمة الإسلامية مذهبها مذهب السلف الصالح لا التحزب إلى ما يسمى (السلفيون) فهناك طريق السلف وهناك حزب يسمى (السلفيون) والمطلوب اتباع السلف.
“Jika kelompok-kelompok (ahzāb) dalam tubuh umat Islam menjadi banyak jumlahnya, maka janganlah engkau berafiliasi (intimā’) kepada suatu kelompok pun. Pada zaman dahulu juga sudah terdapat berbagai macam kelompok, semisal Khawārij, Mu`tazilah, Jahmiyyah dan Rāfidhah. Kemudian akhir-akhir ini muncul (kelompok) yang disebut Ikhwāniyyūn (Ikhwāni), Salafiyyūn (Salafi), Tablīghiyyūn (Tablīghi) dan yang semisalnya.
“Jadikanlah seluruh kelompok tersebut berada pada sisi kiri, dan menjadi keharusan bagimu untuk mengikuti imām, yakni apa-apa yang ditunjukkan oleh Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—melalui sabda beliau,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Menjadi keharusan bagi kalian untuk berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.”
“Tidak diragukan bahwa merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin untuk bermadzhab dengan madzhab Salaf, dan bukan berafiliasi (intimā’) kepada kelompok (hizb) tertentu yang disebut Salafiyyīn (Salafi). (Sekali lagi ditegaskan) bahwa menjadi kewajiban umat Islam untuk bermadzhab dengan madzhab Salaf yang shalih, dan bukan sikap sektarianisme (tahazzub) kepada apa yang dinamakan Salafiyyūn (Salafi). Sebab, di sana ada jalan Salaf dan di sana ada pula kelompok (hizb) yang bernama Salafiyyūn (Salafi). Dan yang dituntut (atas diri seorang muslim) adalah mengikuti/meneladani jalan Salaf.” [Sekian kutipan dari beliau dalam Syarh al-Arba`īn an-Nawawiyyah, penjelasan hadits ke-28.]
Saya dapat dikatakan mulai aktif mengikuti pengajian salafi pada tahun 1998, yaitu ketika awal-awal kuliah di IPB. Rentang waktu yang bisa dikatakan tidak singkat. Sikap saya di masa awal-awal aktif mengikuti pengajian adalah intoleran terhadap perbedaan pendapat (dalam perkara yang masih memungkinkan perbedaan di dalamnya) dan mudah memvonis orang lain. Mungkin karena ghīrah (semangat) yang tinggi tanpa dibarengi kebijaksanaan dan wawasan yang mumpuni. Sikap serupa juga banyak didapati pada sejumlah kalangan yang mengklaim sebagai Salafi. Sikap yang pada saat ini ingin saya tinggalkan, seiring pertambahan umur, interaksi dan penelaahan saya terhadap berbagai macam literatur keislaman, dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.
Masalahnya memang cukup dilematis. Jika saya menolak disebut Salafi, maka oleh sebagian kalangan bisa jadi saya dinilai menolak madzhab Salaf—padahal tentu ini sama sekali bukanlah yang saya maksud. Namun jika penyebutan tersebut diterima—baik secara sukarela maupun terpaksa—maka dalam benak masyarakat pada umumnya, bahkan di kalangan internal sebagian Salafi itu sendiri, konotasinya adalah Salafi dengan pemaknaan sempit yang menunjuk kelompok tertentu.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa penisbatan merupakan keharusan dalam hal identifikasi. Mau tidak mau pasti terjadi. Terkait hal ini, kalau saya boleh memilih untuk diri saya, maka saya lebih menyukai sebutan yang terasa lebih netral dibandingkan Salafi, yaitu Ahlu’s Sunnah (Sunni). Meski sebagaimana dinyatakan oleh ulama, bahwa tidak ada perbedaan substansial antara Ahlu’s Sunnah dan Salafi, bahkan pada hakekatnya keduanya merupakan sinonim, ditinjau dari sisi hakikat pemaknaan terminologis, namun secara konotasi memberi kesan yang berbeda. Ahlu’s Sunnah terasa lebih umum dibanding Salafi dalam persepsi kebanyakan masyarakat, bahkan menurut persepsi sebagian Salafi itu sendiri.
Mungkin ada yang berkata, “Menggunakan sebutan Ahlu’s Sunnah hanyalah menyisakan pertanyaan lanjutan: Ahlu’s Sunnah yang mana? Bukankah banyak sekali kelompok yang mengaku sebagai Ahlu’s Sunnah?”
Pertanyaan semacam ini justru menguatkan tesis bahwa konotasi Salafi memang mengalami penyempitan makna. Sebab seharusnya Ahlu’s Sunnah dan Salafi merupakan dua hal yang benar-benar sama. Di samping itu, taruhlah benar bahwa yang ideal adalah penisbatan diri sebagai Salafi, toh tetap saja masih menyisakan pertanyaan lanjutan: “Salafi yang mana?” Sebab, pada kenyataannya berbagai kelompok yang mengklaim sebagai Salafi saling vonis dan menyalahkan satu sama lain.
Pada akhirnya, toh yang paling urgen serta kruisal adalah kenyataan dan bukan pengakuan. Tidak ada gunanya seseorang mengaku sebagai orang baik, misalnya, kalau kenyataannya ia bukan orang yang baik. Tidak ada gunanya orang mengaku sebagai dermawan, apabila ia ternyata orang yang kikir. Tidak penting pengakuan sebagai orang baik atau dermawan, yang paling penting adalah kebaikan atau kedermawanan itu sendiri. Begitu pula dalam hal ini, tidak ada gunanya mengaku Salafi apabila ternyata yang bersangkutan justru menyelisihi manhaj Salaf. Seorang penyair berkata:
وَكُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاك
Dan tiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Sementara Laila tidak mengakuinya
Dalam hal ini ada kaidah yang berbunyi:
الْعِبْرَة بِالْحَقَائِق وَالْمَعَانِي لاَ بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي
“Yang menjadi patokan itu adalah hakikat serta makna (values), dan bukan lafal atau bentuk.”
Dengan demikian, yang penting itu bukanlah klaim penisbatan diri sebagai Salafi, namun yang penting itu adalah bagaimana seorang Muslim itu meneladani dan tidak menyimpang dari metodologi (manhaj) Salaf yang shalih.
Saya tutup pembahasan ini dengan doa iftitāh yang ma’tsūr dari Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam:
اللّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْم
“Ya Allāh, Rabb Jibrā’īl, Mīkā’īl dan Isrāfīl, Pencipta langit dan bumi, yang Maha Mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi, Engkau menghukumi di antara para hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berikanlah petunjuk kepadaku atas hal-hal yang diperselisihkan dari kebenaran. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapapun yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” [Riwayat Muslim, Abū Dāwūd, at-Tirmidzi, Ibn Mājah dan lain-lain.]
Wa`Llāhu a`lam bish shawāb….
Jakarta, April 2008
Adni Abū Fāris an-Nūri di adniku.com
dicopi dari :
http://www.facebook.com/notes/fandi-satia-engge/bukan-ustadz-salafi/484802635148
Comments :
0 comments to “Bukan Ustadz Salafi?”
Posting Komentar