GHOZIE YANG MALANG:
SEBUAH PERTARUNGAN MEMPERTAHANKAN AQIDAH
Ghozie seorang anak yang baik, terlahir dari keluarga sederhana konsisten dengan agama, pendidikan sekolah dasar diselesaikan seperti layakya anak-anak lain. Semangat keagamaan orangtuanya, dapat menghantarkan ia ke sebuah pesantren salafy (pesantren ‘wahaby’-demikian kebanyakan orang menyebutnya-) yang tentunya sangat berbeda dengan pesantren di Indonesia kebanyakan (Pondok Salaf). Enam tahun dijalani Ghozie tanpa mengalami kesulitan, ilmu agama yang ditanamkan kedua orang tuanya, bagaikan “akar pohon yang menancap kuat ke dalam tanah”, bahkan ia di kenal sebagai murid terbaik di kelulusan tahun itu. Singkat cerita, keinginannya untuk tetap melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, mendalami ilmu-ilmu agama (syar’i), seakan didengar oleh lembaga pendidikan pemberi beasiswa bagi mahasiswa berprestasi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah atau di Asia Tenggara. Tangisan orangtua mengiringi kepergian Ghozie, harapan tinggi di letakkan di pundaknya, yang kelak akan menjadi pemurni aqidah, pembawa panji kebenaran Islam pemelihara aqidah islamiyyah yang telah terkotori dan tercampuri oleh bid’ah-bid’ah dan khurafat.
Setahun telah berlalu, Alhasil Ghozie tampil dengan sosok “baru”, visi dan misi baru, bersamaan dengan hancurnya aqidah suci yang selalu dipegangnya sebagai tolak ukur dalam beramal dan beribadah. Jadilah ajaran orang tua serta ‘atsar wahaby’ kenangan dimasa lalu, kawan-kawan tempat berbagi rasa, bersenda gurau, ternyata penyebab KEHANCURAN moral dan aqidah salafiyyah shohiehah yang ia yakini. Mengkritik “Kebenaran Mutlak” adalah hal biasa, pluralisme beragama menjadi wacana untuk diwujudkan, tampillah Ghozie bersama para pahlawan sekularisme sebagai ‘kawan karib’ pejuang post-radisionalisme di bawah naungan JIL “Jaringan Iblis Laknat” (Meminjam Istilah Penulis buku: Faham dan Aliran Sesat di Indonesia). Wal ‘Iyaadzu billaah
Kisah seperti ini sering terjadi di tengah masyarakat intelektual. Sadar atau tidak pergaulan sangat menentukan prilaku setiap orang. Kejadian yg dialami Ghozie seharusnya tidak terjadi jika setiap kita mampu memposisikan diri sebagai manusia berakal (dalam bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahiehah) dan bukan meng-akal-akali “Pencipta Manusia” apalagi berani menggugat aturan suci langit (baca: syari’at), mampu menghargai kebebasan memahami Islam setiap orang dalam bingkai al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahiihah, tanpa harus intervensi dengan apa yang diyakininya dalam masalah furuu’iyyah. Namun, ketika diperhadapkan dengan masalah Ushuliyyah dan telah tegak dalil shahieh atasnya, tidak satupun yang berhak apalagi berani pasang dada untuk sebuah aturan yang telah ditetapkan oleh “Kebenaran Mutlak”, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
Kaitannya dengan itu pula, keseragaman Aqidah sebagai pondasi awal menjadi harga mati. Tidak ada bargaining yang bisa dikompromikan, sehingga tidak muncul upaya at-tasaamuh fil masaa’il al-‘ushuuliyyah (toleransi dalam masalah mendasar), dan tidak lahir perkataan: “silahkan anda berjalan dengan aqidah asy-‘Ariyyah anda, saya dengan Aqidah ash-Shahiehah saya, dan sejenisnya”, -wal ‘iyaadzu billaah- Sungguh, syubhat-syubhat seperti ini jangan pernah digulirkan untuk kemudian merusak kekokohan Aqidah Islamiyyah Shahiehah yang telah dicontohkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Aslaaful ‘Ummah selama ini. Jika tidak, maka apa yang dialami Ghozie, juga akan kita alami.
Saudaraku, dalam pergaulan sehari-hari, terkadang bahasa sindiran berupa candaan mampu merubah cara berislam seseorang disaat seseorang membaurkan diri bersama kita “Ngapain lho sholat Tuhan aja nggak pernah sholat” ujar seorang kawannya, “ nggak apa-apa kok menyebut Allah dengan Allah ni***jiim (Allah ter**tuk) dan syaitan dengan syaitan sub****hu wa ta***a (syaitan ma** s**i), lagian nggak ada masalah kok dalam penyebutan itu. Toh secara substansial, tidak berubah. Allah tetap maha Suci dan syaitan tetap terkutuk” timpal kawannya yang lain, (Na’udzubillah min dzalik).
Barangkali mereka telah lupa atau memang sengaja lupa bahwa orang-orang seperti mereka telah disinggung dalam Al-quran ibarat kaum munafiqien (la’natullah alaihim) yang selalu mengolok-ngolok Allah dan Rasul-Nya, firman Allah Ta’aala:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (التوبة64) وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (التوبة65)
Terjemahnya:
“Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan rasul-Nya)”. sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (Q.S At-taubah: 64-65), dan balasan setimpal bagi mereka hanyalah azab dari Allah Ta’aala,
“…niscaya Kami akan mengazab golongan dari mereka disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa, (Q.S At-taubah 66).
Karenanya cara dan siasat dalam memilih dan memilah teman adalah hal yang utama dalam berta’awun, hal itu bukan saja berlaku bagi masyarakat awam bahkan kaum intelektual pun tak luput darinya. Al-qur’an sendiri telah memberi arahan dalam memilih teman yang baik, bisa membawa kepada ketaqwaan ataukah mengantarkan kepada perpecahan dan penyesatan yg nyata, Allah Ta’aala berfirman:
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (الفرقان27) يَاوَيْلَتِي لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (الفرقان28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنْ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولًا (الفرقان29)
Terjemahnya:
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang zhalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata , ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an dan ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolongku, (Q.S Al-furqan 27-29).
Dalam ayat lain di sebutkan, Firman Allah Ta’aala:
”Teman-teman karib pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa, (Q.S Az-zukhruf: 67).
Seorang penyair berkata,
"إحذر عضوك مرّة وإحذرصديقك ألف مرّة"
(bencilah/berhati-hatilah kamu dengan musuhmu sekali saja dan bencilah/berhati-hatilah dengan sahabatmu seribu kali)
Di samping itu, pembekalan diri dengan pemahaman yang benar atas Alqur’an dan as-Sunnah ash-Shahiihah menjadi hal yang paling utama bagi setiap muslim. “Ritual-ritual keagamaan” WAJIB dikerjakan dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata, meskipun terkadang penyakit futur telah siap menanti ditengah jalan.
Memang berat menjaga aqidah suci ini dari hantaman luar dan dalam namun bukan berarti kita harus STOP ditengah jalan, jangan lupa dibalik semua itu ada imbalan besar bagi para pejuang aqidah.
والله أعلم بالصواب
Abu Daffa
Manado 2010
http://www.facebook.com/note.php?note_id=166422900043696&id=100000062037272
Pertarungan Mempertahankan Aqidah
Efirst,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Pertarungan Mempertahankan Aqidah”
Posting Komentar