بسم الله الرحمن الرحيم
DIALOG BERSAMA KAUM SUFI [Bagian 1]
Oleh: Abu Bakar Al-Iraqy
Nasehat dan harapan sebelum memulai dialog
Nasehatku kepada setiap muslim yang ingin dan cemburu terhadap agama dan akidahnya agar membaca buku-buku Syaikhul Islam Imam Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah-, dan bersambung dengan murid-murid dakwahnya yang sangat banyak –segala puji bagi Allah Ta'ala-. Kemudian setelah itu mengambil keputusan terhadap dakwahnya yang penuh berkah dan para dai kepadanya.
Saudaraku seagama, dahulu aku adalah seorang murid di sekolah agama (islam) di kota kami, dan syaikh di sekolah –dia seorang sufi thariqat (aliran) Qadiriyah- berbicara kepada kami tentang Syaikh dan dakwahnya yang bertentangan dengan kebenaran dan hakikat. Dia melarang kami membaca buku-bukunya dan buku-buku Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim –rahimahumullah-. Sehingga dia melukis kepada kami gambaran yang disamarkan bagi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Dia selalu menggunakan ungkapan 'Wahabi' untuk membuat orang menjauhkan diri, dan ia berkata bahwa ia adalah mazhab kelima yang keluar dari mazhab islam.
Sungguh Allah Ta'ala mentaqdirkan saya melanjutkan pendidikan di Jami'ah al-Islamiyah (Islamic Universiti) di Madinah al-Munawwarah pada fakultas Syari'ah. Maka aku melihat kebalikan apa apa yang telah kudengar dari guru-guru yang jahat. Aku melihat para tokoh dakwah tauhid adalah orang-orang yang berilmu, ahli al-Qur`an, orang yang baik dan berkah, berpegang kepada al-Qur`an dan sunnah rasul-Nya shallallahu'alaihi wa sallam, berpegang teguh terhadap ajaran Islam, dan memandang diri mereka sebagai pelayan Islam dan dakwah tauhid yang penuh berkah.
Dan setelah aku lulus dari Universitas pada tahun 1397 H, Allah Ta'ala menghendaki aku bertugas sebagai imam, khathib, dan penceramah di salah satu masjid penting di kota kami. Maka aku melihat bid'ah tersebar di dalam masjid di antara shaf orang yang shalat, maka aku memulai –dengan meminta pertolongan kepada Allah Ta'ala- merubahnya dengan cara yang hikmah dan nasehat yang baik.
Tindakan ini membuat para ahli bid'ah, ulama jahat dan fitnah berkata: fulan wahabi dan berdakwah kepada mazhab wahabi, karena dia seorang alumni Saudi hingga akhir ucapan mereka yang tidak dimaksudkan kecuali kebatilan. Sebagaimana dikatakan : 'Seringkali kali yang berbahaya itu memberi manfaat' maka aku berjanji kepada Allah Ta'ala untuk menjadi salah seorang pelayan dakwah tauhid dan aku tidak takut pada jalan Allah Ta'ala ini: terhadap celaan orang yang mencela. Aku menekuni kitab-kitab tauhid, kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Muhammad bin Abdul Wahab rahimahumullah. Dan aku banyak membaca biografi Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, terutama pendiriannya terhadap fitnah pemahaman sesat: bahwa al-Qur'an al-Karim adalah makhluk, padahal Al-Qur'an adalah KALAMULLAH. Maka hal itu sangat memberi pengaruh positif terhadap kehidupanku, yang mengembalikannya kepada tauhid yang murni dan islam yang bersih. Segala puji bagi Allah Ta'ala Rabb semesta alam.
Dan setelah itu aku menjadi salah seorang murid dakwah yang berdakwah kepadanya. Dengan karunia Allah Ta'ala, masuk di dakwah ini jumlah yang banyak dari para pemuda, orang tua, wanita, dan laki-laki. Maka mereka menjadi orang-orang yang mencintai dakwah dan meninggalkan masa lalu mereka dari persoalan jahiliyah. Segala puji bagi Allah Ta'ala yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Permulaan dialog (masalah pertama)
Sufi berkata: engkau adalah wahabi, pengikut mazhab kelima, kamu tidak mengakui empat mazhab, dan tidak melihat adanya ijtihad. Bahkan kaum wahabi berdiri di sisi nash dan tidak terkait dengan mazhab tertentu.
Aku menjawab: pertama-tama aku mengenalkan kepadamu pengertian wahabi. Wahabi adalah sandaran yang tidak tepat, karena syaikh Abdul Wahab bapak pembaharu dakwah bukanlah yang melaksanakan dakwah tauhid. Yang melaksanakannya adalah putranya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Karena seharusnya dinisbahkan kepadanya, maka dikatakan: dakwah muhammadiyah sebagai gantian wahabiyah karena itulah nisbah yang benar. Akan tetapi musuh-musuh dakwah memalingkan kenyataan untuk membuat orang lari, lalu mereka menyandarkannya kepada bapak, bukan kepada anak, karena adanya tujuan tertentu dalam jiwa mereka.
Terkadang dakwah dinisbahkan kepada bapak atau kakek, sebagaimana dikatakan asy-Syafi'iyah, atau al-Hanbaliyah, dan ini tidak ada celaan padanya dan nisbah dakwah tauhid kepada Syaikh Abdul Wahab juga seperti itu.
Akan tetapi apakah makna wahabiyah? Al-Wahhab adalah salah satu dari nama-nama Allah Ta'ala yang indah (asma`ul husna) yang artinya adalah: Yang Maha Pemberi, maka ia adalah pemberian nama yang penuh berkah yang disandarkan kepada salah satu asma`ul husna (al-Wahhab). Maka al-Wahhabiyah atas pengertian ini berarti pemberian yang memberi kepada manusia aqidah yang selamat (benar) dan memberikannya jalan atas dasar al-Qur`an dan as-Sunnah serta perjalanan para salafus shalih, dan memberi rasa yaitu aman dalam aqidah yang bersih lagi kosong dari syirik, sihir dan dajal.
Adapun pernyataan bahwa wahabi adalah mazhab yang kelima, maka ungkapan itu ditolak oleh realita dan logika, karena sesungguhnya Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahab) rahimahullah di dalam ushul dan aqidah di atas aqidah salafus shalih –radhiyallahu 'anhum ajma'in-, dan di dalam furu' (fiqih) di atas mazhab imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal –rahimahullah- dan dia tidak keluar dari mazhabnya dalam persoalan furu' seperti keluarnya Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah –rahimahullah- sekalipun keduanya sama-sama berijtihad dalam beberapa masalah berbeda dengan mazhab. Dan hal itu terjadi saat jelas baginya dalil yang berbeda dengan mazhab, maka ia mengambilnya karena mengikuti kebenaran dan berpegang terhadap dalil. Kitab-kitab dan risalah-risalahnya menjadi bukti atas semua itu. Dan sesungguhnya dia mengakui semua mazhab ahlus sunnah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Tsauriyah serta mazhab-mazhab lainnya yang dikenal.
Maka yang berkata 'mazhab kelima' menjelaskan kebodohannya dan sesungguhnya ia tidak mengenal ilmu dan ulama. Sesungguhnya yang dilaksanakan Imam tidak bisa dikatakan baginya mazhab kelima, dan ia hanyalah dakwah kepada tauhid yang murni (Dan mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah Ta'ala, memurnikan agama bagi-Nya).
Adapun yang terjadi dalam ungkapan para ulama dari pernyataan mereka 'mazhab fulan' atau 'pergi kepadanya fulan', maka sungguh hanya terjadi dalam hukum karena perbedaan mereka padanya menurut sampainya dalil dan memahaminya. Dan ini tidak tertentu hanya pada imam yang empat, bahkan semua mazhab ulama sebelum dan sesudah mereka dalam masalah hukum yang sangat banyak. Sungguh telah terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat dan para ahli fikih yang tujuh (fuqaha sab'ah) dari generasi tabi'in dan berbagai masalah yang saling berbeda pendapat satu sama lain. Dan tujuan dari ucapan si jahil ini 'mazhab kelima' adalah ungkapan yang rusak, tidak ada maknanya seperti kondisi orang-orang seperti dia dari golongan yang suka berdebat dan sesat di masa kita.
Kemudian, sesungguhnya para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berpandangan ijtihad dan sesungguhnya ijtihad tidak diangkat hingga hari kiamat apabila syarat-syaratnya terpenuhi.
Dan keadaan kaum wahabi tidak terkait mazhab tertentu, maka ini adalah pendapat semua fuqaha islam, dan seperti ini pendapat para penganut mazhab yang empat dan para imamnya:
1. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: 'Apabila ada hadits shahih maka ia adalah mazhabku.' Dan dia berkata: 'Tidak boleh bagi seseorang mengambil ucapan kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya. Sesungguhnya kami adalah manusia, kami mengatakan satu pendapat pada hari ini dan besok harinya kami menarik kembali (ruju').' Dan dia berkata pula: 'Apabila aku mengatakan satu ungkapan yang menyalahi al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam maka tinggalkannya pendapatku.'
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata: 'Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa salah dan benar, maka lihatlah pendapatku, maka segala yang sesuai al-Qur'an dan as-Sunnah maka ambilah, dan segala yang tidak sesuai al-Qur`an dan as-Sunnah maka tinggalkanlah.
3. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi`i rahimahullah berkata: 'Tidak ada seseorang melainkan dan pergi atasnya sunnah Rasulullah r dan menjauh darinya. Maka apabila aku mengatakan satu pendapat atau diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berbeda dari pendapatku, maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah r, dan itulah pendapatku.' Dan dia berkata: 'Apabila shahih sebuah hadits maka itulah mazhabku.' Dan dia berkata: 'Apabila kamu melihatku mengatakan satu pendapat, dan ada hadits shahih dari Nabi shallallahu'alaihi wa sallam yang menyalahinya maka ketahuilah sesungguhnya akalku telah hilang.' Dan dia berkata: 'Segala yang kuucapkan, maka ia berbeda dengan sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, maka hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam lebih utama maka janganlah kamu bertaqlid kepadaku.'
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: 'Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, jangalah bertaqlid kepada Malik, Syafi'i, Auza'i, dan jangan pula kepada Tsauri, dan ambilah dari tempat mereka mengambil.' Dan dia berkata: 'Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah r maka ia berada di atas tepi kebinasaan.'
Inilah ungkapan para imam yang empat, semuanya melarang taqlid tanpa mengetahui dalil. Maka wajib kepada orang yang sampai kepadanya perkara Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam agar mengikutinya dan menjelaskan kepada umat. Banyak sekali para ulama mazhab yang menyalahi ucapan imam mereka karena alasan dalil. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dua murid imam Abu Abu Hanifah telah menyalahi pendapat guru mereka dalam masalah mengusap dua kaus dan selain keduanya.
Wahabi bukanlah mazhab ke lima dan bukan hanya dia yang keluar dari pendapat para imam mazhab, dan hal itu saat adanya dalil. Bahkan mereka yang paling banyak berijtihad dan berdiri tegak di sisi nash-nash yang datang dalam al-Qur`an dan as-Sunnah berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
"Dan sesuatu yang Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam datang kepadamu maka ambillah, dan sesuatu yang dia melarangmu darinya maka berhentilah."
Dan Allah Ta'ala mengetahui segala tujuannya.
Mengucap shalawat kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam (masalah kedua)
Sufi berkata: 'Kaum Wahabi tidak mengucap shalawat kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam setelah azan dan mereka melarang para mu`azzin meninggikan suara membaca shalawat di antara menara, dan mereka mengatakan sesungguhnya yang biasa dilakukan para mu`azzin adalah bid'ah, maka bagaimana pendapatmu?
Aku menjawab: 'Sesunggunya para pengikut Imam Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang-orang yang paling banyak mengucap shalawat kepada Nabi r dan paling konsisten dengan perintah dan larangannya, serta taat kepadanya shallallahu'alaihi wa sallam.
Apakah Bilal dan Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu'anhuma serta orang yang melaksanakan azan untuk Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam melakukan seperti yang dilakukan sebagian mu`azin di masa sekarang berupa meninggikan suara membaca shalawat kepada Nabi r setelah azan? Apakah pernah dilakukan di masa khilafah rasyidah yang kita disuruh mengikuti sunnah mereka, demikian pula di masa para imam empat, pengikut para tabi'in, atau salah satu di antara tiga abad pertama yang utama? Sekali-sekali tidak pernah. Dan barangsiapa mengatakan berbeda dengan hal ini berarti dia telah mengada-ngada terhadap islam dan para dainya yang utama.
Dan yang dikatakan bahwa hal itu terjadi di masa Shalahudin al-Ayyubi rahimahullah, dan Shalahudin bukanlah syari'at yang kita diperintah mengikutinya.
Apakah ditemukan sifat azan dalam kitab fiqih dan hadits yang diperpegangi apa-apa yang dibuat-buat oleh para muazin berupa mengucap shalawat kepada Nabi r di atas menara setelah azan? Sesungguhnya hal itu tidak pernah ada, hingga dalam kitab-kitab fuqaha yang ditulis belakangan. Ini dari sisi syara'. Adapun dari sisi yang lain, mereka yang berpendapat mengucap shalawat setelah azan lagi konsisten baginya, mereka tidak mengucap shalawat saat terputus aliran listrik atau tidak ada pengeras suara atau di tempat perayaan, dan pada azan magrib dan Jum'at. Maka bisa jadi ada shalawat di setiap waktu azan, dan jika tidak demikian maka sesungguhnya ini hanyalah mengikuti hawa nafsu. La haula wa laa quwwata illa billah.
Dan setiap yang tidak datang dari Nabi shallallahu'alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkara kami ini yang bukan darinya, maka ia ditolak." Muttafaqun 'alaih dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.
Dan setiap bid'ah dalam agama adalah kesesatan di neraka. Inilah yang kita yakini bahwa setiap yang tidak datang dari Nabi r dan tidak pula dari para khilafah rasyidah, maka ia ditolak. Dan tidak ada bid'ah hasanah dan yang lain sayyi`ah dalam Islam.
Ustadz Sayyid Sabiq rahimahullah berkata dalam fiqih sunnah: 'Azan adalah ibadah dan ruang lingkup perintah dalam ibadah adalah di atas dasar mengikuti. Maka kita tidak boleh menambah atau mengurangi sedikitpun dalam agama kita. Dan dalam hadits yang shahih: "Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkara kami ini yang bukan darinya, maka ia ditolak." Maksudnya batil.
Dan di sini kami menyinggung beberapa hal yang tidak disyari'atkan, yang banyak dilakukan sehingga sebagian orang mengira bahwa ia termasuk bagian dari agama, padahal ia bukan darinya. di antaranya:
1. Ucapan muazin saat azan atau iqamah 'asyhadu anna sayyidana Muhammadar rasulullah' al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Sesungguhnya hal itu tidak boleh ditambah dalam kata-kata yang ma'tsur (yang bersumber dari hadits).'
2. al-Ajluni berkata dalam Kasyful Khafa: 'Mengusap dua mata dengan batin (bagian dalam) dua telunjuk setelah mengecupnya setelah mendengar ucapan muazin 'asyhadu anna muhammadar rasulullah' bersama bacaannya 'asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuluhu, radhitu billah rabba, wa bil islami dina, wa bimuhammadin shallallahu 'alaihi wa sallam nabiya'. Diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Abu Bakar t, ia berkata dalam al-Maqashid: Tidak shahih.
3. Bernyanyi dalam azan dan lahan padanya dengan menambah huruf atau harakah (baris) atau madd adalah makruh. Maka jika membawa kepada perubahan makna atau menyamarkan yang dilarang maka hukumnya haram.
4. Membaca tasbih sebelum fajar dan membaca nasyid serta meninggikan suara dan sebelum Jum'at dan shalawat kepada Nabi r bukan bagian dari azan, tidak secara bahasa dan tidak pula secara syara', al-Hafizh mengatakannya dalam al-Fath.
5. Mengeraskan suara membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah r setelah azan tidak disyari'atkan, bahkan termasuk bid'ah yang makruh. Ibnu Hajar berkata dalam 'al-Fatawa al-Kubra': 'Dasarnya sunnah dan tata caranya bid'ah.' Imam Muhammad Abduh –Mufti Mesir- berkata saat ditanya tentang hal itu: 'Terdapat dalam al-Khaniyah: sesungguhnya azan terdiri dari 15 kata dan akhirnya di sisi kami adalah 'laailaaha illallah', dan yang disebutkan sebelumnya atau sesudahnya semuanya adalah bid'ah yang dibuat-buat untuk talhin, bukan karena yang lain. Tidak ada seorang pun yang membolehkan talhin ini dan tidak dianggap orang yang berkata: 'Sesungguhnya sedikit dari hal itu adalah bid'ah hasanah,' karena setiap bid'ah dalam ibadah seperti ini adalah sayyiah (buruk), dan barangsiapa yang mengaku bahwa hal itu tidak mengandung talhin, maka ia bohong.
6. Dan lebih atas semua itu adalah yang dinamakan tamjid pada malam jum'at, dan yang terdapat di dalamnya berupa tawassul dan istighatsah yang tidak disyari'atkan, dan yang dibuat-buat oleh para muazin di masa sekarang sangat banyak.
Adapun mengucap shalawat keapda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, maka kami adalah manusia yang paling mengenalnya, dan berikut ini sebagian dari keutamaannya dari al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam"
Firman Allah Ta'ala:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. al-Ahzab:56)
Dari Abu al'Aliyah: Shalawat Allah Ta'ala kepada nabi-Nya adalah pujian-Nya kepada beliau shallallahu'alaihi wa sallam di sisi para malaikat. (HR. al-Bukhari).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Dikumpulkan pujian kepadanya dari penghuni alam semesta, alam atas dan alam bawah semuanya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu'anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
"Barangsiapa yang mengucap shalawat kepadaku, niscaya Allah I membalas sepuluh." HR. Muslim.
Dari Abdullah bin Mas'ud radhyallahu'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثُرُهُمْ عَلَي صَلاَةً
"Manusia yang paling utama denganku di hari kiamat adalah yang paling banyak mengucap shalawat kepadaku." HR. at-Tirmidzi dan ia berkata: Hasan shahih.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَجْعَلُوْا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
"Jangan kamu jadikan kuburnya sebagai hari raya, dan ucapkanlah shalawat kepadaku, maka sesungguhnya shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada." HR. Abu Daud dan ia berkata: Shahih.
Dari Aus al-Anshari radhiyallahu'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إَنَّ أَفْضَلَ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ, كَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أرمت؟ قَالَ: إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأُكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ.
"Sesungguhnya harimu yang paling utama adalah hari Jum'at, maka perbanyaklah mengucap shalawat kepadaku padanya, maka sesungguhnya shalawatmu disampaikan kepadaku.' Mereka bertanya, 'Bagaimana disampaikan shalawat kami kepadamu, sedang engkau telah hancur? Beliau shallallahu'alaihi wa sallam menjawab:
'Sesungguhnya Allah Ta'ala mengharamkan bumi memakan jasad para nabi.' HR. Abu Daud, an-Nasa`i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, al-Hakim dan ia menshahihkannya, dan Ahmad.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
"Tidak ada seorang muslim yang mengucap salam kepadaku melainkan Allah Ta'ala mengembalikan ruhku sehingga aku menjawab salamnya." HR. Abu Daud.
Dari Abu Thalhah al-Anshari radhiyallahu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam di pagi hari terlihat senang hati dan kebahagiaan terlihat di wajahnya, mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, di pagi hari ini engkau senang hati dan terlihat di wajahmu kebahagiaan.' Beliau shallallahu'alaihi wa sallam menjawab:
أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي عَزّ وجل فَقَالَ: مَنْ صَلًَّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ صَلاَةً كَتَبَ اللهُ بِهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمَحَا عَنْهُ عَشْرَ سَيِّئَاتٍ ورَفَعَ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَرَدَّ عَلَيْهَا مِثْلَهَا
'Datang pembawa berita dari Rabb-ku , ia berkata, 'Barangsiapa yang mengucap shalawat kepadamu dari umatmu satu kali shalawat niscaya Allah Ta'ala menulis sepuluh kebaikan dengannya, menghapus sepuluh keburukan darinya, dan mengangkat baginya sepuluh derajat, dan mengembalikan atasnya semisalnya.' HR. Ahmad, an-Nasa`i, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُكَالَ لَهُ بِاْلمِكْيَالِ اْلأَوْفَى إِذَا صَلَّى عَلَيْنَا أَهْلَ الْبَيْتِ فَلْيَقُلْ: اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَأَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَذُرِّيَّتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
"Barangsiapa yang ingin diberi timbangan yang sempurna, apabila ia mengucap shalawat kepada kami ahli bait, maka hendaklah ia membaca 'Ya Allah, berilah rahmat kepada nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam, istri-istrinya para ibu kaum mukminin, keturunannya, dan ahli baitnya, sebagaimana engkau memberi rahmat kepada Ibrahim u, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia'.' HR. Abu Daud dan an-Nasa`i.
Dari Ubay bin Ka'ab radhiyallahu'anhu, ia berkata, 'Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku banyak mengucap shalawat kepadamu, maka berapakah aku jadikan untukmu dari shalawatku? Beliau shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Apa yang engkau kehendaki.' Aku berkata, 'Seperempat.' Beliau shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, 'Apa yang engkau kehendaki, jika engkau tambah maka ia lebih baik bagimu.' Aku berkata, 'Setengah.' Beliau bersabda, 'Apa yang engkau kehendaki, jika engkau tambah niscaya lebih baik bagimu.' Aku berkata, 'Dua pertiga.' Beliau r bersabda: 'Apa yang engkau kehendaki, jika engkau tambah niscaya lebih baik bagimu.' Abu berkata, ''Aku jadikan shalawatku semuanya.' Beliau r bersabda, 'Kalau begitu, engkau mencukupkan semangatmu dan dosamu diampuni." HR. at-Tirmidzi.
Banyak sekali hadits-hadits shahih dalam keutamaan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam. Karena inilah mayoritas fuqaha mewajibkan membaca shalawat setiap kali namanya yang mulia disebutkan dan menganjurkan menulis shalawat dan salam kepadanya setiap kali namanya ditulis. Al-Khathib menyebutkannya dari Imam Ahmad rahimahullah. Dan digabungkan di antara shalawat dan salam kepadanya, disebutkan oleh an-Nawawi rahimahullah. Dan dianjurkan mengucapkan shalawat kepada para nabi dan malaikat secara tersendiri.
Dari Abu Mas'ud an-Anshari radhiyallahu'anhu, dari Basyir bin Sa'ad radhiyallahu'anhu, ia berkata, 'Kami disuruh mengucap shalawat kepadamu, wahai Rasulullah, bagaimana kami mengucap shalawat kepadamu? Ia berkata, 'Maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam diam sehingga kami berangan-angan bahwa ia tidak bertanya kepadanya. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
قُوْلُوْا: اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِى اْلعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
"Bacalah: 'Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi rahmat kepada Ibrahim u, dan berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau beri berkah kepada keluarga Ibrahim u di alam semesta, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia." HR. Muslim.
Inilah yang kami imani dan kami beribadah kepada Allah Ta'ala dengannya, bukan seperti yang dikatakan oleh kaum sufi yang hanya terbatas bagi para muazin di atas menara dan menganggapnya sebagai bagian dari azan dan tidak ada dalil atas ucapan mereka.
wallahul musta'aan.
www.islamhouse.com/.../id_dialogue_with_the_sufi.doc - Mesir
Browse » Home »
Aqidah
» DIALOG BERSAMA KAUM SUFI [Silsilah Jawaban Ilmiah Terhadap Sufi - Tasawuf - Tarekat, Bagian 1]
DIALOG BERSAMA KAUM SUFI [Silsilah Jawaban Ilmiah Terhadap Sufi - Tasawuf - Tarekat, Bagian 1]
Efirst,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “DIALOG BERSAMA KAUM SUFI [Silsilah Jawaban Ilmiah Terhadap Sufi - Tasawuf - Tarekat, Bagian 1]”
Posting Komentar